Dari Kaset ke Spotify: Misteri Relevansi Abadi Musik Era 90-an/2000-an

Coba putar sebuah lagu dari Dewa 19, Sheila on 7, Oasis, atau Britney Spears di tengah keramaian. Hampir bisa dipastikan, dalam hitungan detik, akan ada koor massal yang ikut bernyanyi. Generasi milenial akan tersenyum, terbawa mesin waktu ke masa remaja mereka, sementara Gen Z yang mungkin baru menemukannya lewat TikTok atau film akan ikut larut dalam melodi yang entah kenapa terasa begitu akrab.

Di era di mana algoritma menyajikan jutaan lagu baru setiap hari, sebuah pertanyaan menarik muncul: mengapa musik dari era 90-an dan awal 2000-an—baik lokal maupun mancanegara—masih terasa begitu relevan dan memiliki tempat spesial di telinga kita? Jawabannya lebih dalam dari sekadar nostalgia.

1. Melodi Emas dan Lirik yang “Ngena”

Salah satu kekuatan terbesar musik era ini adalah penekanannya pada melodi yang kuat dan memorable. Lagu-lagu tersebut diciptakan dengan hook dan chorus yang menancap di kepala. Strukturnya seringkali lugas, namun aransemennya kaya dan dieksekusi dengan matang. Liriknya pun cenderung lebih naratif dan jujur, menceritakan kisah cinta, persahabatan, atau patah hati dengan bahasa yang mudah terkoneksi, tanpa pretensi berlebihan. Inilah yang membuat kita masih bisa merasakan emosi yang sama puluhan tahun kemudian.

2. Ritual Mendengarkan di Era Pra-Streaming

Dulu, musik adalah sebuah “event”. Kita menabung untuk membeli kaset atau CD, membuka segel plastiknya dengan hati-hati, membaca lirik di liner notes, dan mendengarkan album secara utuh. Kita menunggu video klip favorit muncul di MTV atau acara musik di TV lokal. Keterbatasan akses ini justru menciptakan ikatan yang lebih dalam. Setiap lagu memiliki kenangan spesifik karena proses untuk mendapatkannya butuh usaha, tidak seperti sekarang di mana semua tersedia dalam satu klik. Ritual inilah yang menanamkan lagu-lagu tersebut ke dalam memori jangka panjang kita.

3. Jembatan Antara Dunia Analog dan Digital

Era 90-an/2000-an adalah masa transisi yang unik. Banyak musik direkam menggunakan pita analog yang memberikan “kehangatan” khas, namun di-mixing dan di-mastering dengan sentuhan teknologi digital yang mulai canggih. Hasilnya adalah suara yang jernih dan bertenaga, namun tetap terasa “manusiawi” dan tidak terlalu steril. Ada sedikit ketidaksempurnaan yang justru membuatnya sempurna. Suara drum yang tebal, gitar yang menggigit, dan vokal yang tidak selalu dipoles Auto-Tune memberikan nuansa otentik yang dirindukan banyak pendengar saat ini.

4. Mesin Waktu Emosional

Bagi generasi yang tumbuh di era itu, musik adalah kapsul waktu. Setiap lagu adalah portal menuju kenangan spesifik: cinta monyet di bangku sekolah, perjalanan liburan bersama keluarga, atau sekadar sore hari tanpa beban di depan TV. Di tengah kompleksitas dan kecepatan hidup modern, mendengarkan musik ini sejenak membawa kita kembali ke masa yang terasa lebih sederhana. Ia adalah jangkar emosional yang memberikan rasa nyaman dan aman.


Studi Kasus Abadi: “Dan” oleh Sheila on 7

Jika ada satu lagu yang bisa merangkum semua alasan di atas, “Dan” dari Sheila on 7 adalah jawabannya. Dirilis pada tahun 1999, lagu ini adalah sebuah mahakarya kesederhanaan.

  • Melodinya Sederhana dan Menggugah: Dengan progresi akor yang tidak rumit, Eross Candra menciptakan melodi vokal yang langsung menempel di telinga siapa pun yang mendengarnya.
  • Liriknya Universal: Kisah tentang merelakan seseorang yang kita cintai demi kebahagiaannya adalah tema yang tak akan pernah lekang oleh waktu. Liriknya lugas, puitis, namun tidak cengeng.
  • Ledakan Emosi di Chorus: Bagian reffrain lagu ini adalah salah satu chorus paling ikonik dalam sejarah musik Indonesia. Saat Duta menyanyikan “Dan… bukan maksudku, bukan inginku melukaimu…”, ada ledakan emosi yang jujur dan katartik, mengundang semua orang untuk ikut berteriak bersama.

“Dan” adalah bukti nyata bagaimana sebuah lagu dari akhir era 90-an bisa terus hidup, dinyanyikan di konser reuni, kafe akustik, hingga di-cover oleh musisi generasi baru. Ia tak hanya relevan; ia telah menjadi bagian dari DNA musik populer Indonesia.


Pada akhirnya, relevansi abadi musik 90-an/2000-an bukanlah sebuah misteri. Ia adalah kombinasi sempurna dari kualitas penulisan lagu yang tinggi, konteks budaya yang menciptakan ikatan mendalam, dan kekuatan psikologis dari nostalgia itu sendiri. Lagu-lagu ini bukan sekadar artefak masa lalu; mereka adalah soundtrack dari sebagian besar hidup kita yang akan terus diwariskan dan menemukan telinga-telinga baru untuk beresonansi.

Bagikan artikel ini ke:

Tentang Penulis

Yoda P Gunawan

Sarjana ekonomi dari jurusan manajemen dan bisnis yang sekarang lebih sering bekerja di bidang teknologi sebagai programmer & terkadang menjadi desainer untuk beberapa project.Pernah membuka Konsultan bisnis sendiri , dan juga bekerja untuk beberapa perusahaan, baik nasional maupun multinasional. Waktu berlalu saat ini penulis kembali merintis karir lagi dan mencari peluang rejeki di era yang dinamis seperti saat ini.

Promo Shopee

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Promo Shopee

CARI ARTIKEL DISINI

KATEGORI ARTIKEL

Capturing moments with creativity and precision.

Crafting Timeless Images, one shot at a time.

©2025, Yoda Creative Work . All Rights Reserved