
LENGKONG, AYOBANDUNG.COM — Sejarah Gedung Sate bukannya tanpa misteri. Salah satu misteri yang sempat mengemuka adalah, siapa arsitek Gedung Sate yang sesungguhnya. Her Suganda dalam buku Jendela Bandung menyebut J Gerber sebagai perancang Gedung Sate. Berbagai sumber lain juga menyebutkan bahwa J Gerber adalah arsitek Gedung Sate tapi kenapa ada yang menyangsikannya.
Soal ini sempat ditulis kuncen Bandung Haryoto Kunto dalam buku Balai Agung di Kota Bandung. Dalam buku itu diceritakan, Ben van Leerdam datang ke Bandung pada pertengahan tahun 1988. Saat itu, Leerdam adalah dosen pada Fakultas Teknik di Delft. Leerdam datang ke Bandung untuk napak tilas arsitek Henri Maclaine Pont–arsitek kelahiran Meester Cornelis (Jatinegara, Jakarta) pada 1885–yang merancang bangunan utama kampus ITB.
Kepada Haryoto Kunto Leerdam bilang, “Cobalah selidiki kembali segala sesuatunya tentang Gedung Sate. Masih banyak hal yang saya sangsikan, terutama tentang siapa arsitek perancang bangunan tersebut.” Ada yang mengatakan bahwa arsiteknya berkebangsaan Austria, sementara Gerber adalah orang Belanda.
Selain Leerdam, ada Ir R Heringa, arsitek asal Bloemendaal, Belanda. Pada Maret 1995, Heringa datang ke Bandung untuk menyelusuri kehidupan kakeknya yang bernama Ir FJL Ghijsels. Ghijsels ini juga arsitek ternama pada zamannya. Bersama Ir Hein von Essen dan F Stlitz, Ghijsels mendirikan biro arsitek sekaligus kontraktor Algemeen Ingenieurs en Architectenbureau (AIA) di Batavia pada 1916. Biro ini membuka cabang di Surabaya (1927) dan Bandung (1932). Biro di Bandung dipimpin FW Brinkman dan GH Voorhoeve.

Menurut Yulianto Sumalyo dalam buku Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia, AIA ini beberapa kali bekerja sama dengan arsitek terkenal CP Wolff Schoemaker misalnya dalam menggarap Vila Isola di Bandung serta International Credit en Handelsvereniging (sekarang Kantor Aneka Niaga) dan Kolonial Bank (sekarang Kantor PT Perkebunan XXI-XXII) di Surabaya. Selain itu juga merancang took dan rumah tinggal baik di Bandung maupun di Surabaya.
Sebelum mendirikan biro AIA, Ghijsels sempat bekerja di departemen pekerjaan umum (department van burgerlijke openbare werken) dan ditempatkan di Bandung. Menurut Heringa, pada 1917, Biro AIA di bawah Ghijsels mengajukan desain rancangan pembangunan gedung Gouvernementsbureaux (jawatan pemerintah) yang lokasinya persis di Gedung Sate saat ini. Keterangan sejenis bisa ditemukan dalam buku Robert PGA Voskuil, Bandung Cita Sebuah Kota.
Menurut Voskuil, dari seluruh rencana itu, hanya 2 bangunan yang tereksekusi. Sementara menurut Haryoto, rancangan itu ditolak pemerintah dengan alasan terlalu kebarat-baratan. “Namun ada juga elemen desainnya yang diambil oleh tim arsitek dari Landsgebouwendienst (jawatan gedung-gedung nusantara) pimpinan J Gerber,” tulis Haryoto Kunto dalam buku Balai Agung di Kota Bandung.

Gerber Dianggap Masih Terlalu Hijau
Hasil bacaan Haryoto Kunto terhadap buku-buku lama dengan gamblang menyebutkan bahwa arsitek Gedung Sate adalah J Gerber. Keterangan itu terdapat dalam buku Nieuw Nederlandsche Bouwkunst karangan Prof Ir J G Wattjes yang diterbitkan Uitgevers-Maatschappij Kosmos di Amsterdam pada 1926.
Kemudian juga dalam buku Mijn Indische Reis karangan Dr H P Berlage yang diterbitkan WL & J Brussel Uit Geversmaatschappij NV di Rotterdam pada 1931. Buku ini merupakan catatan perjalanan Berlage ke Hindia Belanda dari Februari sampai Juni 1923. Pada akhir April sampai awal Mei, Berlage berada di Bandung dan sempat bertemu dengan arsitek Gedung Sate, J Gerber.
Kesangsian orang terhadap Gerber sebetulnya merupakan hal yang wajar. Saat itu, Gerber terbilang masih hijau untuk menggarap proyek bangunan yang monumental semacam Gedung Sate. Gerber baru lulus kuliah tahun 1917. Lazim bagi sarjana baru di dunia arsitektur untuk magang di biro arsitek dulu sebelum mandiri. Di sana mereka juga umumnya diserahi tanggung jawab merancang bangunan sederhana semacam rumah. Sementara Gerber langsung merancang bangunan monumental seperti Gedung Sate yang layaknya digarap arsitek yang sudah punya nama besar atau reputasi.
Kalau melihat waktu pembangunan Gedung Sate yang dimulai 27 Juli 1920, artinya Gerber baru lulus 3 tahun. Dengan mempertimbangkan persiapan pembangunannya yang pasti lebih awal lagi, besar kemungkinan proyek itu diserahkan kepada Gerber begitu Gerber tiba di Hindia Belanda. Ingat, perjalanan dari Belanda ke Hindia Belanda saat itu bisa berbulan-bulan. Belum lagi dengan mempertimbangkan bahwa sebelum sampai ke Hindia Belanda, Gerber mengunjungi Thailand (Siam) terlebih dulu.
Pembangunan Gedung Sate Melibatkan Tim Pakar
Kalau bukan Gerber, lalu siapa arsitek yang merancang Gedung Sate? Mengutip majalah Groot Bandoeng Nomor 3 yang terbit bulan Maret 1922, Haryoto menyebut nama Kolonel VL Slors. Slors datang ke Hindia Belanda pada 1894 untuk merancang dan membangun kota militer Cimahi. Setelah pensiun, Slors balik ke Belanda dan ditunjuk menjadi direktur dinas bangunan pada Gementee Bandung.
Tugas itu membuat Slors harus kembali ke Bandung pada 1919 untuk membuat kompleks bangunan militer (kini kompleks Kodam III Siliwangi) dan merancang bangunan pusat pemerintahan (kompleks Gedung Sate).
Dari fakta itu, kata Haryoto, sebagian orang berpendapat bahwa blue print (cetak biru) kompleks Gedung Sate sudah disiapkan di Belanda dan Gerber adalah pimpinan proyek atau mandor besarnya. Pembangunan Gedung Sate sendiri digarap oleh sebuah tim yang terdiri dari Slors, Ir E H de Roo , G Hendriks. Roo adalah orang yang membangun 444 rumah sewa di Cihapit dan merancang Gedong Ppaak (Balai Kota Bandung). Sedangkan G Hendriks adalah orang yang merancang Kuburan Pandu, rumah pemotongan hewan di Jalan Arjuna, dan Gedung Dwi Warna di Jalan Diponegoro.
“Tim pakar arsitek inilah yang bekerja mendampingi Ir J Gerber menggarap Gedong Sate. Hingga tak mengherankan bila rancangan Gedung pusat pemerintahan Hindia Belanda itu tergolong karya arsitektur yang paling indah di Nusantara,” tulis Haryoto.
Kalau mau disimpulkan, dengan menggunakan bahasa Her Suganda, Gedung Sate adalah bagian dari rencana pembangunan kawasan pusat pemerintahan sipil yang dituangkan dalam rencana pembangunan gedung-gedung pemerintah (Gouvernements Beedrijven/GB) yang sekaligus diharapkan bisa mencerminkan kolonial staad. Kompleks dimaksud memiliki total 14 kantor departemen dan kantor instansi pusat lainnya di lahan seluas total 27 Hektare. Rencana itu dipimpin oleh VL Slors dengan anggota J Gerber, RH de Roo, dan G Hendriks serta Gemeente van Bandoeng.
“Di kemudian hari, rencana itu dikenal dengan ‘Tapak Slors’,” tulis Her Suganda dalam buku Jendela Bandung.
Walaupun demikian, bukan berarti peran Gerber kecil. Dari korespondensi yang terjadi antara Maclaine Pont (arsitek yang merancang bangunan induk kampus ITB) dengan orang berinisial G (diduga Gerber), besar kemungkinan Gerber terlibat cukup jauh dalam pembangunan Gedung Sate.
“Karya arsitektur J Gerber di Surabaya, dalam bentuk bangunan sekolah HBS (kini SMAN 1 Jl Wijayakusuma), memperlihatkan persamaan dengan gaya bangunan Gedong Sate. Hal ini membuktikan bahwa ide rancangan Gedong Sate, secara dominan merupakan kreasi J Gerber,” kata Haryoto.
Robert VGA Voskuil dalam buku Bandung Citra Sebuah Kota bahkan menyebut Gedung Sate adalah proyek perseorangan yang digarap J Gerber sebagai arsiteknya. “Terdapat proyek perseorangan yaitu proyek pembangunan oleh BOW – Arsitek J Gerber yang mendirikan bangunan gedung departemen. Peletakan batu pertamanya tahun 1920; Gedung tersebut sudah selesai dan siap dipakai pada tahun 1924. Ada dua bangunan monumental, dan yang terbesar adalah bangunan dengan Menara yang puncaknya meruncing yang berbentuk tusuk sate. Bangunan ini menurut orang banyak bergara arsitektur Indisch. Nama ‘Gedong Sate’ cepat terkenal dan sampai kini merupakan ‘penanda’ Kota Bandung,” tulis Voskuil.
Rujukan:
Kunto, Haryoto. Balai Agung di Kota Bandung, Riwayat Gedong Sate dan Gedong Pakuan. PT Granesia Bandung, 1996
Suganda, Her. Jendela Bandung: Pengalaman Bersama Kompas. Penerbit buku Kompas, 2008
Sumalyo, Yulianto. Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia. Gadjah Mada University Press, 1995
Voskuil, Robert PGA, dkk. Bandung Citra Sebuah Kota. Penerbit ITB, 2017